Periode sebelum Islam, yang sering disebut sebagai zaman jahiliah, merupakan masa yang kompleks dalam sejarah Arab. Di tengah lanskap gurun yang keras dan struktur sosial yang kental dengan kesukuan, berbagai praktik dan keyakinan berkembang. Salah satu aspek yang paling tragis dan mencolok dari tradisi pra-Islam ini adalah pandangan masyarakat terhadap kelahiran anak perempuan. Berbeda dengan generasi masa kini yang semakin menghargai kesetaraan gender, pada masa itu, anak perempuan seringkali dianggap sebagai beban, sumber aib, dan bahkan dikubur hidup-hidup.
Inti dari praktik ini terletak pada budaya patriarki yang sangat dominan di masyarakat Arab pra-Islam. Struktur kekuasaan sepenuhnya dipegang oleh laki-laki. Kabilah atau suku dipimpin oleh laki-laki, garis keturunan dijaga melalui laki-laki, dan kekayaan serta status sosial sangat bergantung pada kekuatan dan jumlah laki-laki dalam keluarga. Dalam konteks ini, anak perempuan dilihat sebagai aset yang akan berpindah ke kabilah lain melalui pernikahan, sehingga dianggap tidak memberikan kontribusi jangka panjang terhadap kekuatan dan kemakmuran keluarga asalnya. Sebaliknya, mereka justru dianggap membawa potensi kehinaan.
Ketakutan utama yang melatarbelakangi penguburan anak perempuan hidup-hidup adalah anggapan bahwa mereka akan membawa aib bagi keluarga. Ada kekhawatiran bahwa anak perempuan bisa jatuh ke dalam perbudakan, prostitusi, atau menjadi sumber konflik antar kabilah. Dalam masyarakat yang sangat menjunjung tinggi kehormatan (izzah), potensi kehinaan ini dianggap lebih buruk daripada kematian. Mengubur anak perempuan hidup-hidup, meskipun kejam, dianggap sebagai cara untuk "menyelamatkan" kehormatan keluarga dari potensi aib di masa depan.
Proses penguburan hidup-hidup ini dilakukan dengan berbagai cara yang mengerikan. Ada yang menggali lubang kemudian mendorong bayi perempuan ke dalamnya, lalu menimbunnya dengan tanah hingga meninggal. Ada pula yang menenggelamkan mereka di sumur. Praktik ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang miskin, tetapi juga oleh keluarga yang dianggap terpandang, menunjukkan betapa dalamnya akar tradisi ini dalam masyarakat. Pemandangan seorang ayah yang dengan tangan sendiri mengubur putrinya demi "kehormatan" adalah gambaran yang sangat menyayat hati dari realitas zaman itu.
Sebaliknya, anak laki-laki dipandang sebagai pewaris, pelindung kabilah, dan simbol kekuatan. Mereka diharapkan dapat membawa kejayaan, mempertahankan wilayah, dan menjaga nama baik keluarga. Keberadaan anak laki-laki menambah kekuatan militer, memperluas pengaruh kabilah, dan memastikan kelangsungan garis keturunan. Oleh karena itu, kelahiran anak laki-laki disambut dengan sukacita yang besar, sementara kelahiran anak perempuan seringkali disambut dengan kesedihan, kekecewaan, atau bahkan kemarahan.
Dampak dari tradisi mengerikan ini terhadap psikologi perempuan, baik yang selamat maupun yang tidak, serta struktur sosial masyarakat sangatlah besar. Perempuan yang selamat dari takdir penguburan hidup-hidup seringkali tumbuh dalam lingkungan yang sangat menekan, di mana keberadaan mereka selalu dipertanyakan dan dianggap kurang berharga. Hal ini menciptakan rasa inferioritas yang mendalam dan membatasi potensi mereka untuk berkembang. Secara sosial, tradisi ini menciptakan ketidakseimbangan gender yang ekstrem dan mengukuhkan dominasi laki-laki dalam segala aspek kehidupan.
Perubahan fundamental dalam pandangan terhadap anak perempuan datang dengan bangkitnya Islam. Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad SAW secara tegas menentang praktik penguburan anak perempuan hidup-hidup dan menggantinya dengan penekanan pada kesetaraan, kasih sayang, dan tanggung jawab terhadap semua anak. Ayat-ayat Al-Qur'an yang mengecam praktik jahiliah ini menjadi landasan moral dan etika baru.
Islam mengangkat derajat perempuan, memberikan hak-hak yang sebelumnya tidak mereka miliki, dan menekankan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah SWT. Ajaran Islam mengajarkan bahwa rezeki datang dari Allah, dan tidak ada makhluk yang berhak menahan rezeki yang telah ditetapkan. Hal ini perlahan namun pasti mengubah persepsi masyarakat terhadap anak perempuan, dari beban menjadi anugerah yang harus dirawat dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang.
Warisan tradisi pra-Islam yang menganggap anak perempuan sebagai aib adalah pengingat yang kuat tentang betapa pentingnya perubahan sosial dan revolusi nilai. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya menghargai setiap individu tanpa memandang jenis kelamin, dan bagaimana ajaran yang berlandaskan kasih sayang dan keadilan dapat mengubah realitas yang paling kelam sekalipun.